Jadila Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah
sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.
Orang buta itu tertawa terbahak berkata : “Buat apa saya bawa
pelita ? Kan sama saja buat saya ! Saya bisa pulang kok.” Dengan
lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu,
biar mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk
membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang
pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan
punya mata. Beri jalan buat orang buta dong !” Tanpa berbalas sapa,
mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali
ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta ? Tidak bisa lihat ya ?
Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat !” Pejalan itu
menukas, “Kamu yang buta ! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah
padam !” Si buta tertegun…. Menyadari situasi itu, penabraknya
meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat
bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-
apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si
penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta.
Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak
orang buta kita. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya
dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya padam ?” Penabraknya
menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap
sejenak… secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang
buta ?” Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya…,” sembari
meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan
kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam,
nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita
tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang
buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu
membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik,
orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita
berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya
dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai
aral rintangan (tabrakan !). Si buta pertama mewakili mereka yang
terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan
kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa
lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri.

Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan
dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja
atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak
seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling
memaklumi dan saling membantu. Betapa sulitnya menyalakan pelita
kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Itulah pentingnya
untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.

Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar
akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan. Sudahkah kita sulut
pelita dalam diri kita masing-masing ? Jika sudah, apakah nyalanya
masih terang, atau bahkan nyaris padam ? JADILAH PELITA, bagi diri
kita sendiri dan sekitar kita.

Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan : Sejuta pelita
dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak
akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.

teman-temanku